Lewati navigasi

Category Archives: Love Life and Soul

Bau ‘angpo’ menyengat bersamaan dengan terdengarnya bunyi rintik hujan. Saya berjalan menuju jendela kamar untuk menikmati bau itu. ‘Angpo’ adalah istilah yang dipakai orang di daerah saya untuk mendeskripsikan bau tanah kering terkena air hujan. Hmm .. bau yang menyejukkan .. Percikan air hujan tertiup angin mengenai wajah saya dari balik kaca nako .. rasanya seperti di-therapy oleh alam, sangat lembut dan menenangkan.

Tapi tak lama kemudian angin berhembus lebih kencang, membawa titik-titik air hujan yang juga mulai menderas kesana-kemari, diikuti guruh yang bersahut-sahutan. Mendadak semua menjadi gusar .. petir menyambar-nyambar, angin seperti berburu dengan waktu, air hujan seakan berlomba-lomba untuk segera menyentuh bumi, menumpah-ruahkan semua yang masih ada di awan, hingga suaranya seperti meledal-ledak mengenai atap rumah, bahkan menciptakan jalur barunya menerobos ke dinding kamar saya, mendadak saya merasa takut dengan hujan sore ini. Saya tutup kaca nako, dan tanpa henti berucap subhanallah karena petir yang terus memecut-mecut.

30 menit berlalu ketika akhirnya hujan baru mulai mereda .. tinggal rintik-rintik hujan menyelesaikan tugasnya .. berikutnya suasana kembali tenang. Begitu cepatnya semua berlalu, sesaat indah, sesaat kemudian tiba-tiba mencekam, lalu tenang kembali. Ini juga yang bisa terjadi dalam hidup kita. Kadang hidup kita berjalan dengan tenteram, kemudian tanpa terduga tiba-tiba saja kita mendapatkan ujian atau bencana, lalu seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan kembali ketenangan tersebut.

Saya berjalan keluar untuk menikmati hawa segar selepas hujan. Saya hirup udara sedalam-dalamnya, hingga kesegarannya mengisi rongga paru-paru. Saya lihat tanaman dan bunga-bunga di samping rumah seperti menemukan kesegaran barunya .. alhamdulillah. Lalu saya dongakkan kepala ke langit, dimana matahari berusaha menyembulkan sinarnya diantara awan yang masih bergelayut, hanya sekilas sebelum saya sempat mengabadikannya dengan kamera, saya melihat sebaris pelangi menghiasi awan .. Alhamdulillah .. I saw the beauty of rain ..

Artikel ini kiriman dari seorang teman. Nggak tau apakah ini kisah nyata atau hanya cerita, tapi semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kisah ini.

“……………………………”
Ibuku hanya punya satu mata, aku benci dia… dia begitu memalukanku. Dia memasak untuk murid dan guru guna mencukupi kebutuhan keluargaku. Suatu hari saat aku di sekolah dasar, ibu mendatangiku dan mengucap salam padaku, aku begitu malu saat itu, bagaimana dia bisa melakukan itu padaku di depan teman-temanku?! Aku abaikan dia dan melemparkan pandangan benci padanya sambil berlari.

Esok harinya, salah seorang teman kelasku mengejekku dengan mengatakan ” Eeee, ibumu hanya punya satu mata…! ” Aku malu sekali dan ingin mati rasanya, aku juga ingin ibuku pergi dari kehidupanku. Aku bertengkar hebat dengan ibuku dan kukatakan padanya kalau ibu hanya jadi sumber bahan tertawaan teman-temanku, mengapa ibu tak mati saja ! Ibu tak menjawab … !!!

Aku sama sekali tak mau berpikir tentang apa yang kukatakan , karena aku sangat marah padanya, aku tak perdulikan apapun perasaan dia, aku ingin keluar dari rumah itu … !! jadi aku belajar dengan keras agar aku mendapat kesempatan belajar di luar negeri, kemudian aku menikah, ku beli rumah. Aku punya anak dan aku hidup bahagia.

Suatu waktu ibu mengunjungiku. Dia bertahun-tahun tak melihatku dan bahkan belum pernah bertemu cucu-cucunya. Ketika ibu berdiri di depan pintu, anak-anakku mentertawakannya. Aku berteriak padanya ” Betapa beraninya kamu datang kerumahku, dan menakut-nakuti anakku. PERGI DARI SINI SEKARANG !! ” Ibuku menjawab perlahan ” Maaf… saya salah alamat “. Dan diapun pergi.

Suatu waktu, ada undangan reuni di kirimkan ke rumahku, jadi aku berbohong pada istriku, ku katakan bahwa aku ada tugas ke luar kota. Usai reuni, aku mampir kekampungku untuk sekedar rasa ingin tahu. Salah seorang tetanggaku mengatakan bahwa ibuku telah meninggal dunia. Aku tak terharu atau meneteskan air mata … ! Tetanggaku itu menyerahkan sepucuk surat dari ibu untukku.

Anakku tersayang, aku memikirkanmu setiap waktu. Maafkan aku datang ke rumahmu dan membuat takut anak-anakmu. Aku sanga gembira ketika ku dengar kau akan datang ke reuni, tapi sayangnya aku tak bisa bangkit dari tempat tidur untuk melihatmu. Maafkan aku yang membuat malu saat kita masih bersama. Ketahuilah anakku…. ketika kau masih kecil, kau mengalami kecelakaan yang membuatmu kehilangan matamu. sebagai ibu, aku tak bisa berdiam diri membiarkanmu tumbuh dengan satu mata saja, jadi aku berikan satu mataku padamu. Aku sangat bangga pada anakku yang telah memperlihatkanku dunia baru untukku di tempatku, dengan mata itu.Bersama Cintaku …. Ibumu ….
“……………………………”

Semoga kisah diatas bisa jadi pelajaran sehingga tidak perlu terjadi pada kita.

Setiap pagi saya melewati rutinitas yang sama. Bangun pagi, merapihkan tempat tidur, menyapu rumah, mandi dengan air hangat yang disiapkan oleh Bapak, berbenah dan berangkat ke sekolah. Kali ini rambut saya dikepang dua mengikuti kakak saya, mba Dhe, yang rambutnya juga dikepang dua. Usia kami hanya terpaut 2.5 tahun, sehingga saya suka mengikuti apa saja yang mba Dhe lakukan.

Kami berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya kira-kira 1.5 km dari rumah. Cukup jauh untuk anak seusia saya waktu itu 8 tahun .. ditambah jalannya yang menanjak .. sambil menjinjing tas berisi buku-buku pelajaran dan jas hujan yang baru dibelikan bapak minggu sebelumnya.

Lega rasanya ketika melihat gerbang sekolah sudah dekat .. Saking senangnya saya berlari sekencang-kencangnya hingga tidak menyadari ada batu sebesar kepalan tangan orang dewasa di depan saya. Tiba-tiba badan mungil saya sudah melayang dan sesaat kemudian tersungkur dengan posisi face to face dengan tanah. .. puff …

Ketika perih mulai terasa di sekujur tubuh, tangan lembut mba Dhe mencoba membangunkan saya. Dia membersihkan luka-luka di kaki dan tangan saya, dan bilang, “Jangan nangis Diajeng, kan tadi lari maunya sendiri .. nanti mba obatin.” Lalu didudukkannya saya di samping gerbang sekolah. Saya menahan perih sambil menanti mba Dhe yang menuju UKS untuk mengambil kapas, alkohol, dan obat merah. Dengan penuh kasih sayang diobatinya luka saya, sambil sesekali membuat guyonan untuk melupakan rasa sakit. Dan begitulah hari itu saya tidak jadi bersekolah. Mba meminta ijin ke bu guru untuk mengantarkan saya pulang. Kami naik dokar yang kebetulan lewat waktu itu sampai rumah ..

…………..

Ketika mulai menginjak remaja, mba Dhe adalah role model saya. Kepintarannya menari, menyanyi, bermain musik, tennis, memimpin regu pramuka, dsb membuat saya ingin bisa semua yang mba bisa. Kami les menari bersama, les nyanyi bersama, les tennis dan musik bersama, tapi saya tidak pernah bisa sehebat dia. Mungkin karena faktor bakat, dia lebih berbakat dibanding saya.

Kemudian suatu ketika setelah memiliki 3 orang anak, mba sempat bertanya-tanya, “Kira-kira anak-anakku bakatnya masing-masing apa ya? Nanti Tante Any yang ngajarin anak-anakku bahasa Inggris loh ya .. kan mamanya dah lama nggak cas cis cus .. trus nanti minta tolong juga difotoin anak-anakku ya Tante .. lalu minta tolong dikirimin ke lomba-lomba .. biar berani tampil ..”

………….

Rupanya itu adalah salah satu pesan terakhir mba Dhe sebelum beliau meninggalkan kami. Waktu itu di suatu siang dengan suaranya yang lemah dan bergetar, mba telfon saya “Jeng .. telp aku balik ya .. penting!” Posisi saya di Jakarta waktu itu dan mba di Boyolali, setelah 2 bulan sebelumnya melahirkan disana.

“Aku diminta untuk bed rest sama dokter, karena ada pembengkakan dinding jantung. Kata dokter masih stadium awal, tapi kenapa ya mandi pun nggak boleh kalau pakai gayung, harusnya pakai shower. Kalau parah, kenapa tidak disarankan untuk opname ya? Bahkan bermain dan nggendong anak-anak juga nggak boleh … ” Lalu dengan suaranya yang tercekat dia bilang, “Jeng .. aku masih kepingin nungguin anak-anak .. “ Sampai disitu dia tak kuasa melanjutkan kata-katanya, ada kesedihan yang mendalam. Jantung saya seperti tidak berdegup lagi, lemas rasanya seluruh badan .. saya rasakan sebuah firasat dari suaranya yang coba saya buang jauh.

Saya mencoba menghiburnya sambil menahan sesuatu yang tercekat di tenggorokan saya, “Insyaallah setelah cukup bed rest nanti, Mba bisa lekas sembuh.” Lalu kami membicarakan mengenai alternative berobat secara herbal supaya tetap bisa menyusui anaknya yang baru lahir.

Sebelum menutup telfon, sekuat tenaga menahan getir saya katakan, “ … I love you Ma .. “ dan dia membalas dengan suara bergetar di ujung telp “I love you too Tante .. ”. Lalu 2 hari kemudian di pagi hari, 2 tahun yang lalu, sebuah telfon mengabarkan bahwa mba Dhe, kakak tercinta saya, my idol, my hero, telah dipanggil Yang Kuasa selepas subuh, setelah menyusui anaknya. Di usianya yang masih muda, 31 tahun saat itu … rasanya sulit sekali percaya.

Kami belum cukup berusaha untuk kesembuhannya .. bagaimana mungkin, ini terlalu mendadak? Dan kenapa Rumah Sakit menolak mentah-mentah ketika mba dibawa ke Rumah Sakit dalam kondisi kritis pagi itu, dengan alasan Rumah Sakit penuh, bahkan dilihat pun tidak? Kenapa Dokter tidak bilang saat periksa seminggu sebelumnya kalau kondisinya sudah sangat kritis dan perlu opname? Segudang pertanyaan dan rasa sesal berkecamuk di fikiran kami waktu itu. Mba Dhe teramat muda untuk meninggalkan kami dan tiga anaknya yang masih kecil-kecil. Tapi akhirnya kami pasrahkan semua pada yang Diatas .. kami mohon diberi kekuatan untuk bisa menerima semuanya .. karena Allah pasti sudah memiliki rencana. Semoga ini yang terbaik untuk mba Dhe. Insyaallah kami ikhlas ..

Di bulan suci ini, kami berdoa untuk mba Dhe dan Bapak yang sudah terlebih dahulu dipanggil oleh Allah, semoga diampuni dosa-dosanya dan diberi tempat yang terbaik disisi-Nya. Semoga kami bisa meneruskan cita-cita mba Dhe dan Bapak, dan anak-anak bisa tumbuh menjadi anak yang sholeh/sholihah, yang selalu ingat untuk mengirimkan doa untuk mba Dhe hingga mereka besar nanti. Kami semua (Mami, Tante, anak-anak, mas Budi) baik-baik saja disini. Sekarang anak-anak sudah punya ibu baru Ma .. yang insyaallah menyayangi mereka seperti anak sendiri. Rayhan sudah TK B, adik Khansa mulai masuk Play Group. Adik Nashwa juga tahun depan nyusul kakak-kakaknya sekolah. Dan Tante Any sudah menikah dengan Om Adhi seperti doa Mama dan Bapak dulu.

Teriring doa dan cinta kami selalu untuk Mama dan Bapak. We love you and will always love you ..

Nice article dari milis suami .. maaf kalau udah pernah baca ..

” …………………………..”
Dengan panjang lebar ibu menjelaskan, sebenarnya sejak ada dalan kandungan aku telah dijodohkan dengan Raihana yang tak pernah kukenal.” Ibunya Raihana adalah teman karib
ibu waktu nyantri di pesantren Mangkuyudan Solo dulu” kata ibu. “Kami pernah berjanji, jika dikarunia anak berlainan jenis akan besanan untuk memperteguh tali persaudaraan. Karena itu ibu mohon keikhlasanmu” , ucap beliau dengan nada mengiba. Dalam pergulatan jiwa yang sulit berhari-hari, akhirnya aku pasrah. Aku menuruti keinginan ibu. Aku tak mau mengecewakan ibu. Aku ingin menjadi mentari pagi dihatinya, meskipun untuk itu aku harus mengorbankan diriku.

Dengan hati pahit kuserahkan semuanya bulat-bulat pada ibu. Meskipun sesungguhnya dalam hatiku timbul kecemasan-kecemasan yang datang begitu saja dan tidak tahu alasannya.Yang jelas aku sudah punya kriteria dan impian tersendiri untuk calon istriku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa berhadapan dengan air mata ibu yang amat kucintai. Saat khitbah (lamaran) sekilas kutatap wajah Raihana, benar kata Aida adikku, ia memang baby face dan anggun.

Namun garis-garis kecantikan yang kuinginkan tak kutemukan sama sekali. Adikku, tante Lia mengakui Raihana cantik, “cantiknya alami, bisa jadi bintang iklan Lux lho, asli ! kata tante Lia. Tapi penilaianku lain, mungkin karena aku begitu hanyut dengan gadis-gadis Mesir titisan Cleopatra, yang tinggi semampai, wajahnya putih jelita, dengan hidung melengkung indah, mata bulat bening khas arab, dan bibir yang merah. Di hari-hari menjelang pernikahanku, aku berusaha menumbuhkan bibit-bibit cintaku untuk calon istriku, tetapi usahaku selalu sia-sia.

Aku ingin memberontak pada ibuku, tetapi wajah teduhnya meluluhkanku. Hari pernikahan datang. Duduk dipelaminan bagai mayat hidup, hati hampa tanpa cinta, Pestapun meriah dengan empat group rebana. Lantunan shalawat Nabipun terasa menusuk-nusuk hati. Kulihat Raihana tersenyum manis, tetapi hatiku terasa teriris-iris dan jiwaku meronta. Satu-satunya harapanku adalah mendapat berkah dari Allah SWT atas baktiku pada ibuku yang kucintai. Rabbighfir li wa liwalidayya!

Layaknya pengantin baru, kupaksakan untuk mesra tapi bukan cinta, hanya sekedar karena aku seorang manusia yang terbiasa membaca ayat-ayatNya. Raihana tersenyum mengembang, hatiku menangisi kebohonganku dan kepura-puraanku.

Tepat dua bulan Raihana kubawa ke kontrakan dipinggir kota Malang. Mulailah kehidupan hampa. Aku tak menemukan adanya gairah. Betapa susah hidup berkeluarga tanpa cinta. Makan, minum, tidur, dan shalat bersama dengan makhluk yang bernama Raihana, istriku, tapi Masya Allah bibit cintaku belum juga tumbuh. Suaranya yang lembut terasa hambar, wajahnya yang teduh tetap terasa asing. Memasuki bulan keempat, rasa muak hidup bersama Raihana mulai kurasakan, rasa ini muncul begitu saja. Aku mencoba membuang jauh-jauh rasa tidak baik ini, apalagi pada istri sendiri yang seharusnya kusayang dan kucintai. Sikapku pada Raihana mulai lain. Aku lebih banyak diam, acuh tak acuh, agak sinis, dan tidur pun lebih banyak di ruang tamu atau ruang kerja. Aku merasa hidupku ada lah sia-sia, belajar di luar negeri sia-sia, pernikahanku sia-sia, keberadaanku sia-sia.

Tidak hanya aku yang tersiksa, Raihanapun merasakan hal yang sama, karena ia orang yang berpendidikan, maka diapun tanya, tetapi kujawab ” tidak apa-apa koq mbak, mungkin aku belum dewasa, mungkin masih harus belajar berumah tangga” Ada kekagetan yang kutangkap diwajah Raihana ketika kupanggil ‘mbak’, ” kenapa mas memanggilku mbak, aku kan istrimu, apa mas sudah tidak mencintaiku” tanyanya dengan guratan wajah yang sedih. “wallahu a’lam” jawabku sekenanya. Dengan mata berkaca-kaca Raihana diam menunduk, tak lama kemudian dia terisak-isak sambil memeluk kakiku, “Kalau mas tidak mencintaiku, tidak menerimaku sebagai istri kenapa mas ucapkan akad nikah?

Kalau dalam tingkahku melayani mas masih ada yang kurang berkenan, kenapa mas tidak bilang dan menegurnya, kenapa mas diam saja, aku harus bersikap bagaimana untuk membahagiakan mas, kumohon bukalah sedikit hatimu untuk menjadi ruang bagi pengabdianku, bagi menyempurnakan ibadahku didunia ini”. Raihana mengiba penuh pasrah.

Aku menangis menitikan air mata buka karena Raihana tetapi karena kepatunganku. Hari terus berjalan, tetapi komunikasi kami tidak berjalan. Kami hidup seperti orang asing tetapi Raihana tetap melayaniku menyiapkan segalanya untukku.

Suatu sore aku pulang mengajar dan kehujanan, sampai dirumah habis maghrib, bibirku pucat, perutku belum kemasukkan apa-apa kecuali segelas kopi buatan Raihana tadi pagi, Memang aku berangkat pagi karena ada janji dengan teman. Raihana memandangiku dengan khawatir. “Mas tidak apa-apa” tanyanya dengan perasaan kuatir. “Mas mandi dengan air panas saja, aku sedang menggodoknya, lima menit lagi mendidih” lanjutnya. Aku melepas semua pakaian yang basah. “Mas airnya sudah siap” kata Raihana. Aku tak bicara sepatah katapun, aku langsung ke kamar mandi, aku lupa membawa handuk, tetapi Raihana telah berdiri didepan pintu membawa handuk. “Mas aku buatkan wedang jahe” Aku diam saja. Aku merasa mulas dan mual dalam perutku tak bisa kutahan.

Dengan cepat aku berlari ke kamar mandi dan Raihana mengejarku dan memijit-mijit pundak dan tengkukku seperti yang dilakukan ibu. ” Mas masuk angin. Biasanya kalau masuk angin diobati pakai apa, pakai balsam, minyak putih, atau jamu?” Tanya Raihana sambil menuntunku ke kamar. “Mas jangan diam saja dong, aku kan tidak tahu apa yang harus kulakukan untuk membantu Mas”. ” Biasanya dikerokin” jawabku lirih. ” Kalau begitu kaos mas dilepas ya, biar Hana kerokin” sahut Raihana sambil tangannya melepas kaosku. Aku seperti anak kecil yang dimanja ibunya. Raihana dengan sabar mengerokin punggungku dengan sentuhan tangannya yang halus. Setelah selesai dikerokin, Raihana membawakanku semangkok bubur kacang hijau. Setelah itu aku merebahkan diri di tempat tidur. Kulihat Raihana duduk di kursi tak jauh dari tempat tidur sambil menghafal Al Quran dengan khusyu. Aku kembali sedih dan ingin menangis, Raihana manis tapi tak semanis gadis-gadis mesir titisan Cleopatra.

Dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Cleopatra, ia mengundangku untuk makan malam di istananya.” Aku punya keponakan namanya Mona Zaki, nanti akan aku perkenalkan denganmu” kata Ratu Cleopatra. ” Dia memintaku untuk mencarikannya seorang pangeran, aku melihatmu cocok dan berniat memperkenalkannya denganmu”. Aku mempersiapkan segalanya. Tepat pukul 07.00 aku datang ke istana, kulihat Mona Zaki dengan pakaian pengantinnya, cantik sekali. Sang ratu mempersilakan aku duduk di kursi yang berhias berlian.

Aku melangkah maju, belum sempat duduk, tiba-tiba ” Mas, bangun, sudah jam setengah empat, mas belum sholat Isya” kata Raihana membangunkanku. Aku terbangun dengan perasaan kecewa. ” Maafkan aku Mas, membuat Mas kurang suka, tetapi Mas belum sholat Isya” lirih Hana sambil melepas mukenanya, mungkin dia baru selesai sholat malam. Meskipun cuman mimpi tapi itu indah sekali, tapi sayang terputus. Aku jadi semakin tidak suka sama dia, dialah pemutus harapanku dan mimpi-mimpiku. Tapi apakah dia bersalah, bukankah dia berbuat baik membangunkanku untuk sholat Isya.

Selanjutnya aku merasa sulit hidup bersama Raihana, aku tidak tahu dari mana sulitnya. Rasa tidak suka semakin menjadi-jadi. Aku benar-benar terpenjara dalam suasana konyol. Aku belum bisa menyukai Raihana. Aku sendiri belum pernah jatuh cinta, entah kenapa bisa dijajah pesona gadis-gadis titisan Cleopatra.

”Mas, nanti sore ada acara qiqah di rumah Yu Imah. Semua keluarga akan datang termasuk ibundamu. Kita diundang juga. Yuk, kita datang bareng, tidak enak kalau kita yang dielukelukan keluarga tidak datang” Suara lembut Raihana menyadarkan pengembaraanku pada Jaman Ibnu Hazm. Pelan-pelan ia letakkan nampan yang berisi onde-onde kesukaanku dan segelas wedang jahe.

Tangannya yang halus agak gemetar. Aku dingin-dingin saja. ” Maaf..maaf jika mengganggu Mas, maafkan Hana,” lirihnya, lalu perlahan-lahan beranjak meninggalkan aku di ruang kerja. ” Mbak! Eh maaf, maksudku D..Din..Dinda Hana!, panggilku dengan suara parau tercekak dalam tenggorokan. ” Ya Mas!” sahut Hana langsung menghentikan langkahnya dan pelan-pelan menghadapkan dirinya padaku. Ia berusaha untuk tersenyum, agaknya ia bahagia dipanggil “dinda”. ” Matanya sedikit berbinar. “Te..terima kasih Di..dinda, kita berangkat bareng kesana, habis sholat dhuhur, insya Allah,” ucapku sambil menatap wajah Hana dengan senyum yang kupaksakan.

Raihana menatapku dengan wajah sangat cerah, ada secercah senyum bersinar dibibirnya. ” Terima kasih Mas, Ibu kita pasti senang, mau pakai baju yang mana Mas, biar dinda siapkan?Atau biar dinda saja yang memilihkan ya?”.

Hana begitu bahagia. Perempuan berjilbab ini memang luar biasa, Ia tetap sabar mencurahkan bakti meskipun aku dingin dan acuh tak acuh padanya selama ini. Aku belum pernah melihatnya memasang wajah masam atau tidak suka padaku. Kalau wajah sedihnya ya. Tapi wajah tidak sukanya belum pernah. Bah, lelaki macam apa aku ini, kutukku pada diriku sendiri. Aku memakimaki diriku sendiri atas sikap dinginku selama ini., Tapi, setetes embun cinta yang kuharapkan membasahi hatiku tak juga turun. Kecantikan aura titisan Cleopatra itu?

Bagaimana aku mengusirnya. Aku merasa menjadi orang yang paling membenci diriku sendiri di dunia ini.

Acara pengajian dan qiqah putra ketiga Fatimah kakak sulung Raihana membawa sejarah baru lembaran pernikahan kami. Benar dugaan Raihana, kami dielu-elukan keluarga, disambut hangat, penuh cinta, dan penuh bangga. “

Selamat datang pengantin baru! Selamat datang pasangan yang paling ideal dalam keluarga! Sambut Yu Imah disambut tepuk tangan bahagia mertua dan bundaku serta kerabat yang lain. Wajah Raihana cerah. Matanya berbinar-binar bahagia. Lain dengan aku, dalam hatiku menangis disebut pasangan ideal.

Apanya yang ideal. Apa karena aku lulusan Mesir dan Raihana lulusan terbaik dikampusnya dan hafal Al Quran lantas disebut ideal? Ideal bagiku adalah seperti Ibnu Hazm dan istrinya, saling memiliki rasa cinta yang sampai pada pengorbanan satu sama lain. Rasa cinta yang tidak lagi memungkinkan adanya pengkhianatan. Rasa cinta yang dari detik ke detik meneteskan rasa bahagia.

Tapi diriku? Aku belum bisa memiliki cinta seperti yang dimiliki Raihana.

Sambutan sanak saudara pada kami benar-benar hangat. Aku dibuat kaget oleh sikap Raihana yang begitu kuat menjaga kewibawaanku di mata keluarga. Pada ibuku dan semuanya tidak pernah diceritakan, kecuali menyanjung kebaikanku sebagai seorang suami yang dicintainya. Bahkan ia mengaku bangga dan bahagia menjadi istriku. Aku sendiri dibuat pusing dengan sikapku. Lebih pusing lagi sikap ibuku dan mertuaku yang menyindir tentang keturunan. ” Sudah satu tahun putra sulungku menikah, koq belum ada tanda-tandanya ya, padahal aku ingin sekali menimang cucu” kata ibuku. ” Insya Allah tak lama lagi, ibu akan menimang cucu, doakanlah kami. Bukankah begitu, Mas?” sahut Raihana sambil menyikut lenganku, aku tergagap dan mengangguk sekenanya.

Setelah peristiwa itu, aku mencoba bersikap bersahabat dengan Raihana. Aku berpura-pura kembali mesra dengannya, sebagai suami betulan. Jujur, aku hanya pura-pura. Sebab bukan atas dasar cinta, dan bukan kehendakku sendiri aku melakukannya, ini semua demi ibuku. Allah Maha Kuasa. Kepura-puraanku memuliakan Raihana sebagai seorang istri. Raihana hamil. Ia semakin manis.

Keluarga bersuka cita semua. Namun hatiku menangis karena cinta tak kunjung tiba. Tuhan kasihanilah hamba, datangkanlah cinta itu segera. Sejak itu aku semakin sedih sehingg Raihana yang sedang hamil tidak kuperhatikan lagi. Setiap saat nuraniku bertanya” Man tanggung jawabmu!” Aku hanya diam dan mendesah sedih. ” Entahlah, betapa sulit aku menemukan cinta” gumamku.

Dan akhirnya datanglah hari itu, usia kehamilan Raihana memasuki bulan ke enam. Raihana minta ijin untuk tinggal bersama orang tuanya dengan alasan kesehatan. Kukabulkan permintaanya dan kuantarkan dia kerumahnya. Karena rumah mertua jauh dari kampus tempat aku mengajar, mertuaku tak menaruh curiga ketika aku harus tetap tinggal dikontrakan. Ketika aku pamitan, Raihana berpesan, ” Mas untuk menambah biaya kelahiran anak kita, tolong nanti cairkan tabunganku yang ada di ATM. Aku taruh dibawah bantal, no.pinnya sama dengan tanggal pernikahan kita”.

Setelah Raihana tinggal bersama ibunya, aku sedikit lega. Setiap hari Aku tidak bertemu dengan orang yang membuatku tidak nyaman. Entah apa sebabnya bisa demikian. Hanya saja aku sedikit repot, harus menyiapkan segalanya.

Tapi toh bukan masalah bagiku, karena aku sudah terbiasa saat kuliah di Mesir.

Waktu terus berjalan, dan aku merasa enjoy tanpa Raihana. Suatu saat aku pulang kehujanan. Sampai rumah hari sudah petang, aku merasa tubuhku benar-benar lemas. Aku muntahmuntah, menggigil, kepala pusing dan perut mual. Saat itu terlintas dihati andaikan ada Raihana, dia pasti telah menyiapkan air panas, bubur kacang hijau, membantu mengobati masuk angin dengan mengeroki punggungku, lalu menyuruhku istirahat dan menutupi tubuhku dengan selimut. Malam itu aku benar-benar tersiksa dan menderita. Aku terbangun jam enam pagi. Badan sudah segar. Tapi ada penyesalan dalam hati, aku belum sholat Isya dan terlambat sholat subuh. Baru sedikit terasa, andaikan ada Raihana tentu aku ngak meninggalkan sholat Isya, dan tidak terlambat sholat subuh.

Lintasan Raihana hilang seiring keberangkatan mengajar di kampus. Apalagi aku mendapat tugas dari universitas untuk mengikuti pelatihan mutu dosen mata kuliah bahasa arab. Diantaranya tutornya adalah professor bahasa arab dari Mesir. Aku jadi banyak berbincang dengan beliau tentang mesir. Dalam pelatihan aku juga berkenalan dengan Pak Qalyubi, seorang dosen bahasa arab dari Medan. Dia menempuh S1-nya di Mesir. Dia menceritakan satu pengalaman hidup yang menurutnya pahit dan terlanjur dijalani. “Apakah kamu sudah menikah?” kata Pak Qalyubi. “Alhamdulillah, sudah” jawabku. ” Dengan orang mana?. ” Orang Jawa”.

” Pasti orang yang baik ya. Iya kan? Biasanya pulang dari Mesir banyak saudara yang menawarkan untuk menikah dengan perempuan shalehah. Paling tidak santriwati, lulusan pesantren. Istrimu dari pesantren?”. “Pernah, alhamdulillah dia sarjana dan hafal Al Quran”. ” Kau sangat beruntung, tidak sepertiku”. ” Kenapa dengan Bapak?” ” Aku melakukan langkah yang salah, seandainya aku tidak menikah dengan orang Mesir itu, tentu batinku tidak merana seperti sekarang”. ” Bagaimana itu bisa terjadi?”. “ Kamu tentu tahu kan gadis Mesir itu cantik-cantik, dan karena terpesona dengan kecantikanya saya menderita seperti ini. Ceritanya begini, Saya seorang anak tunggal dari seorang yang kaya, saya berangkat ke Mesir dengan biaya orang tua. Disana saya bersama kakak kelas namanya Fadhil, orang Medan juga. Seiring dengan berjalannya waktu, tahun pertama saya lulus dengan predikat jayyid, predikat yang cukup sulit bagi pelajar dari Indonesia.

Demikian juga dengan tahun kedua. Karena prestasi saya, tuan rumah tempat saya tinggal menyukai saya. Saya dikenalkan dengan anak gadisnya yang bernama Yasmin. Dia tidak pakai jilbab. Pada pandangan pertama saya jatuh cinta, saya belum pernah melihat gadis secantuk itu. Saya bersumpah tidak akan menikah dengan siapapun kecuali dia. Ternyata perasaan saya tidak bertepuk sebelah tangan. Kisah cinta saya didengar oleh Fadhil. Fadhil membuat garis tegas, akhiri hubungan dengan anak tuan rumah itu atau sekalian lanjutkan dengan menikahinya. Saya memilih yang kedua.

Ketika saya menikahi Yasmin, banyak teman-teman yang memberi masukan begini, samasama menikah dengan gadis Mesir, kenapa tidak mencari mahasiswi Al Azhar yang hafal Al Quran, salehah, dan berjilbab. Itu lebih selamat dari pada dengan Yasmin yang awam pengetahuan agamanya. Tetapi saya tetap teguh untuk menikahinya. Dengan biaya yang tinggi saya berhasil menikahi Yasmin.

Yasmin menuntut diberi sesuatu yang lebih dari gadis Mesir. Perabot rumah yang mewah, menginap di hotel berbintang. Begitu selesai S1 saya kembali ke Medan, saya minta agar asset yang di Mesir dijual untuk modal di Indonesia. Kami langsung membeli rumah yang cukup mewah di kota Medan. Tahun-tahun pertama hidup kami berjalan baik, setiap tahunnya Yasmin mengajak ke Mesir menengok orang tuanya. Aku masih bisa memenuhi semua yang diinginkan Yasmin. Hidup terus berjalan, biaya hidup semakin nambah, anak kami yang ketiga lahir, tetapi pemasukan tidak bertambah. Saya minta Yasmin untuk berhemat. Tidak setiap tahun tetapi tiga tahun sekali namun Yasmin tidak bisa. Aku mati-matian berbisnis, demi keinginan Yasmin dan anak-anak terpenuhi. Sawah terakhir milik Ayah saya jual untuk modal. Dalam diri saya mulai muncul penyesalan. Setiap kali saya melihat teman-teman alumni Mesir yang hidup dengan tenang dan damai dengan istrinya. Bisa mengamalkan ilmu dan bisa berdakwah dengan baik. Dicintai masyarakat. Saya tidak mendapatkan apa yang mereka dapatkan. Jika saya pengen rendang, saya harus ke warung. Yasmin tidak mau tahu dengan masakan Indonesia.

Kau tahu sendiri, gadis Mesir biasanya memanggil suaminya dengan namanya. Jika ada sedikit letupan, maka rumah seperti neraka. Puncak penderitaan saya dimulai setahun yang lalu. Usaha saya bangkrut, saya minta Yasmin untuk menjual perhiasannya, tetapi dia tidak mau. Dia malah membandingkan dirinya yang hidup serba kurang dengan sepupunya. Sepupunya mendapat suami orang Mesir.

Saya menyesal meletakkan kecantikan diatas segalanya. Saya telah diperbudak dengan kecantikannya. Mengetahui keadaan saya yang terjepit, ayah dan ibu mengalah. Mereka menjual rumah dan tanah, yang akhirnya mereka tinggal di ruko yang kecil dan sempit. Batin saya menangis. Mereka berharap modal itu cukup untuk merintis bisnis saya yang bangkrut. Bisnis saya mulai bangkit, Yasmin mulai berulah, dia mengajak ke Mesir. Waktu di Mesir itulah puncak tragedy yang menyakitkan. ” Aku menyesal menikah dengan orang Indonesia, aku minta kau ceraikan aku, aku tidak bisa bahagia kecuali dengan lelaki Mesir”. Kata Yasmin yang bagaikan geledek menyambar. Lalu tanpa dosa dia bercerita bahwa tadi di KBRI dia bertemu dengan temannya. Teman lamanya itu sudah jadi bisnisman, dan istrinya sudah meninggal.

Yasmin diajak makan siang, dan dilanjutkan dengan perselingkuhan. Aku pukul dia karena tak bisa menahan diri. Atas tindakan itu saya dilaporkan ke polisi. Yang menyakitkan adalah tak satupun keluarganya yang membelaku. Rupanya selama ini Yasmin sering mengirim surat yang berisi berita bohong.

Sejak saat itu saya mengalami depresi. Dua bulan yang lalu saya mendapat surat cerai dari Mesir sekaligus mendapat salinan surat nikah Yasmin dengan temannya. Hati saya sangat sakit, ketika si sulung menggigau meminta ibunya pulang”.

Mendengar cerita Pak Qulyubi membuatku terisak-isak. Perjalanan hidupnya menyadarkanku. Aku teringat Raihana. Perlahan wajahnya terbayang dimataku, tak terasa sudah dua bualn aku berpisah dengannya. Tiba-tiba ada kerinduan yang menyelinap dihati. Dia istri yang sangat shalehah. Tidak pernah meminta apapun. Bahkan yang keluar adalah pengabdian dan pengorbanan. Hanya karena kemurahan Allah aku mendapatkan istri seperti dia. Meskipun hatiku belum terbuka lebar, tetapi wajah Raihana telah menyala didindingnya. Apa yang sedang dilakukan Raihana sekarang? Bagaimana kandungannya? Sudah delapan bulan. Sebentar lagi melahirkan. Aku jadi teringat pesannya. Dia ingin agar aku mencairkan tabungannya.

Pulang dari pelatihan, aku menyempatkan ke toko baju muslim, aku ingin membelikannya untuk Raihana, juga daster, dan pakaian bayi. Aku ingin memberikan kejutan, agar dia tersenyum menyambut kedatanganku. Aku tidak langsung ke rumah mertua, tetapi ke kontrakan untuk mengambil uang tabungan, yang disimpan dibawah bantal. Dibawah kasur itu kutemukan kertas Merah jambu. Hatiku berdesir, darahku terkesiap. Surat cinta siapa ini, rasanya aku belum pernah membuat surat cinta untuk istriku. Jangan-jangan ini surat cinta istriku dengan lelaki lain. Gila! Jangan-jangan istriku serong. Dengan rasa takut kubaca surat itu satu persatu. Dan ya Rabbii ternyata surat-surat itu adalah ungkapan hati Raihana yang selama ini aku zhalimi. Ia menulis, betapa ia mati-matian mencintaiku, meredam rindunya akan belaianku. Ia menguatkan diri untuk menahan nestapa dan derita yang luar biasa. Hanya Allah lah tempat ia meratap melabuhkan dukanya. Dan ya .. Allah, ia tetap setia memanjatkan doa untuk kebaikan suaminya.

Dan betapa dia ingin hadirnya cinta sejati dariku.

“Rabbi dengan penuh kesyukuran, hamba bersimpuh dihadapan-Mu. Lakal hamdu ya Rabb. Telah muliakan hamba dengan Al Quran. Kalaulah bukan karena karunia-Mu yang agung ini, niscaya hamba sudah terperosok kedalam jurang kenistaan. Ya Rabbi, curahkan tambahan kesabaran dalam diri hamba” tulis Raihana.

Dalam akhir tulisannya Raihana berdoa” Ya Allah inilah hamba-Mu yang kerdil penuh noda dan dosa kembali datang mengetuk pintumu, melabuhkan derita jiwa ini kehadirat-Mu. Ya Allah sudah tujuh bulan ini hamba-Mu ini hamil penuh derita dan kepayahan. Namun kenapa begitu tega suami hamba tak mempedulikanku dan menelantarkanku. Masih kurang apa rasa cinta hamba padanya. Masih kurang apa kesetiaanku padanya. Masih kurang apa baktiku padanya? Ya Allah, jika memang masih ada yang kurang, ilhamkanlah pada hamba-Mu ini cara berakhlak yang lebih mulia lagi pada suamiku.

Ya Allah, dengan rahmatMu hamba mohon jangan murkai dia karena kelalaiannya. Cukup hamba saja yang menderita. Maafkanlah dia, dengan penuh cinta hamba masih tetap menyayanginya. Ya Allah berilah hamba kekuatan untuk tetap berbakti dan memuliakannya. Ya Allah, Engkau maha Tahu bahwa hamba sangat mencintainya karena-Mu. Sampaikanlah rasa cinta ini kepadanya dengan cara-Mu. Tegurlah dia dengan teguran-Mu. Ya Allah dengarkanlah doa hamba-Mu ini. Tiada Tuhan yang layak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau”.

Tak terasa air mataku mengalir, dadaku terasa sesak oleh rasa haru yang luar biasa. Tangisku meledak. Dalam tangisku semua kebaikan Raihana terbayang. Wajahnya yang baby face dan teduh, pengorbanan dan pengabdiannya yang tiada putusnya, suaranya yang lembut, tanganya yang halus bersimpuh memeluk kakiku, semuanya terbayang mengalirkan perasaan haru dan cinta. Dalam keharuan terasa ada angina sejuk yang turun dari langit dan merasuk dalam jiwaku. Seketika itu pesona Cleopatra telah memudar berganti cinta Raihana yang datang di hati. Rasa sayang dan cinta pada Raihan tiba-tiba begitu kuat mengakar dalam hatiku. Cahaya Raihana terus berkilat-kilat dimata. Aku tiba-tiba begitu merindukannya. Segera kukejar waktu untuk membagi Cintaku dengan Raihana.

Kukebut kendaraanku. Kupacu kencang seiring dengan air mataku yang menetes sepanjang jalan. Begitu sampai di halaman rumah mertua, nyaris tangisku meledak. Kutahan dengan nafas panjang dan kuusap air mataku. Melihat kedatanganku, ibu mertuaku memelukku dan menangis tersedu- sedu. Aku jadi heran dan ikut menangis. ” Mana Raihana Bu?”. Ibu mertua hanya menangis dan menangis. Aku terus bertanya apa sebenarnya yang telah terjadi.

” Raihana…istrimu. .istrimu dan anakmu yang dikandungnya” . ” Ada apa dengan dia”. ” Dia telah tiada”. ” Ibu berkata apa!”. ” Istrimu telah meninggal seminggu yang lalu. Dia terjatuh di kamar mandi. Kami membawanya ke rumah sakit. Dia dan bayinya tidak selamat. Sebelum meninggal, dia berpesan untuk memintakan maaf atas segala kekurangan dan kekhilafannya selama menyertaimu.

Dia meminta maaf karena tidak bisa membuatmu bahagia. Dia meminta maaf telah dengan tidak sengaja membuatmu menderita. Dia minta kau meridhionya” .

Hatiku bergetar hebat. ” kenapa ibu tidak memberi kabar padaku?”. “

Ketika Raihana dibawa ke rumah sakit, aku telah mengutus seseorang untuk menjemputmu di rumah kontrakan, tapi kamu tidak ada. Dihubungi ke kampus katanya kamu sedang mengikuti pelatihan. Kami tidak ingin mengganggumu. Apalagi Raihana berpesan agar kami tidak mengganggu ketenanganmu selama pelatihan. Dan ketika Raihana meninggal kami sangat sedih, Jadi Maafkanlah kami”.

Aku menangis tersedu-sedu. Hatiku pilu. Jiwaku remuk. Ketika aku merasakan cinta

Raihana, dia telah tiada. Ketika aku ingin menebus dosaku, dia telah meninggalkanku. Ketika aku ingin memuliakannya dia telah tiada. Dia telah meninggalkan aku tanpa memberi kesempatan padaku untuk sekedar minta maaf dan tersenyum padanya. Tuhan telah menghukumku dengan penyesalan dan perasaan bersalah tiada terkira.

Ibu mertua mengajakku ke sebuah gundukan tanah yang masih baru dikuburan pinggir desa. Diatas gundukan itu ada dua buah batu nisan. Nama dan hari wafat Raihana tertulis disana. Aku tak kuat menahan rasa cinta, haru, rindu dan penyesalan yang luar biasa. Aku ingin Raihana hidup kembali. Dunia tiba-tiba gelap semua ……..

Hari ini dibalik kemudi, dalam kemacetan jakarta yang dipenuhi antrian mobil masuk parkiran gedung pusat perbelanjaan (sampai jalan raya pun ikut kena getah antrian panjangnya), dalam bising klakson dan debu yang mengepul dari bajaj di depan saya, saya sibuk memikirkan hal lain. Hampir satu jam terjebak kemacetan, selama itu pula saya mengingat potongan-potongan cerita dalam hidup saya. Seperti puzzle yang tadinya masih abstrak, kalau kita renungi ternyata bisa kita rangkai menjadi satu cerita.

Masih segar dalam ingatan, ketika waktu itu sebagai bagian dari kurikulum perkuliahan, saya ditugaskan ke daerah yang sangat tidak favorit. Tandus, sulit air, listrik juga masih terbatas, jalan menuju lokasi juga cukup sulit, kaki pecah-pecah. Rasanya berat sekali waktu pertama mendapati nama kita ditempatkan di lokasi tersebut. Meski demikian coba dijalani saja hari demi hari hingga selesainya masa tugas. Alhamdulillah 2 bulan masa tugas terlewati juga dengan lancar.

Untunglah saya tidak sendiri. Bersama sekitar 34 orang kami ditempatkan di daerah tersebut. Tidak ada yang istimewa dalam interaksi kami waktu itu, karena memang awalnya kita tidak saling kenal. Hingga setahun setelah berlalunya tugas tersebut dan kita sudah kembali ke kehidupan kuliah, saya mulai dekat dengan salah seorang diantara teman-teman. Yang ternyata membuat hati saya bertaut padanya hingga saat ini .. dan menjadi pasangan hidup saya .. suami tercinta.

Saya tersenyum sendiri menyadari hal tersebut .. Allah selalu punya rencana .. sepenggal puzzle waktu itu berasa berat dan seperti ujian hidup, potongan puzzle berikutnya adalah masa penjajagan yang perlu waktu dan kesabaran .. setahun lebih untuk kami baru mulai benar-benar saling mengenal, dan akhirnya potongan puzzle yang terakhir adalah pernikahan kami yang indah. Sungguh tidak pernah terduga sebelumnya.

Kesimpulan saya dari balik kemudi siang ini, diantara kekecewaan kita atas kegagalan atau ketidakberuntungan kita pada suatu momen kehidupan, insyaallah akan ada kebaikan di akhirnya. Karena Allah sudah memiliki rencana-Nya. Jadi sepahit apapun pengalaman yang kita lalui saat ini, itu hanyalah sepotong puzzle yang belum kita tau cerita lengkapnya. Jangan terburu-buru menyalahkan diri kita atau orang lain. Tugas kitalah untuk membuat potongan puzzle berikutnya supaya pada akhirnya bisa terangkai dengan lengkap menjadi cerita yang indah pada waktunya. Dan selalu bersyukur atas setiap hal yang kita miliki saat ini.